materi sejarah palang merah internasional dan internasional

GERAKAN PALANG MERAH
DAN BULAN SABIT MERAH INTERNASIONAL

A. Sejarah Gerakan
Perang Solferino
Pada  tanggal  24  Juni  1859  di Solferino,  sebuah  kota  kecil  yang  terletak  di  daratan  rendah Propinsi Lambordi,
sebelah utara Italia, berlangsung pertempuran sengit antara prajurit Perancis dan Austria. Pertempuran yang berlangsung
sekitar 16  jam dan melibatkan 320.000 orang prajurit  itu, menelan puluhan  ribu korban  tewas dan  luka-luka. Sekitar 40
ribu orang meninggal dalam pertempuran. 
Banyaknya  prajurit  yang  menjadi  korban,  dimana  pertempuran  berlangsung  antar  kelompok  yang  saling
berhadapan, memang merupakan karakteristik perang yang berlangsung pada jaman itu. Tak ubahnya seperti pembantaian
massal yang menghabisi ribuan orang pada satu waktu. Terlebih lagi, komandan militer tidak memperhatikan kepentingan
orang yang terluka untuk mendapatkan pertolongan dan perawatan. Mereka hanya dianggap sebagai „makanan meriam‟.
Ribuan  mayat  tumpang  tindih  dengan  mereka  yang  terluka  tanpa  pertolongan.  Jumlah  ahli  bedah  pun  sangat  tidak
mencukupi. Saat  itu, hanya ada empat orang dokter hewan yang merawat seribu kuda serta seorang dokter untuk seribu
orang. Pertempuran tersebut pada akhirnya dimenangkan oleh Perancis.
Akibat  perang  dengan  pemandangannya  yang  sangat  mengerikan  itu,  menggugah  Henry  Dunant,  seorang
pengusaha  berkebangsaan  Swiss  (1828  –  1910)  yang  kebetulan  lewat  dalam  perjalanannya  untuk  menemui  Kaisar
Napoleon  III  guna  keperluan  bisnis. Namun menyaksikan  pemandangan  yang  sangat mengerikan  akibat  pertempuran, 
membuat kesedihannya muncul dan terlupa akan tujuannya bertemu dengan kaisar. Dia mengumpulkan orang-orang dari
desa-desa sekitarnya dan tinggal di sana selama tiga hari untuk sungguh-sungguh menghabiskan waktunya guna merawat
orang yang terluka. 
Ribuan  orang  yang  terluka  tanpa  perawatan  dan  dibiarkan mati  di  tempat  karena  pelayanan medis  yang  tidak
mencukupi  jumlahnya dan  tidak memadai dalam  tugas/keterampilan, membuatnya  sangat  tergugah. Kata-kata bijaknya
yang  diungkapkan  saat  itu,  Siamo  tutti  fratelli  (Kita  semua  saudara), membuka  hati  para  sukarelawan  untuk melayani
kawan maupun lawan tanpa membedakannya. 

Komite Internasional
Sekembalinya Dunant ke Swiss, membuatnya  terus dihantui oleh mimpi buruk yang disaksikannya di Solferino.
Untuk menghilangkan bayangan buruk dalam pikirannya dan untuk menarik perhatian dunia  akan kenyataan kejamnya
perang, ditulisnya sebuah buku dan diterbitkannya dengan biaya sendiri pada bulan November 1862. Buku itu diberi judul
“Kenangan dari Solferino” (Un Souvenir De Solferino). 
Buku itu mengandung dua gagasan penting yaitu:
  Perlunya mendirikan perhimpunan bantuan di setiap negara yang terdiri dari sukarelawan untuk merawat orang
yang terluka pada waktu perang.
  Perlunya  kesepakatan  internasional  guna  melindungi  prajurit  yang  terluka  dalam medan  perang  dan  orang-
orang yang merawatnya serta memberikan status netral kepada mereka.
Selanjutnya Dunant mengirimkan buku itu kepada keluarga-keluarga terkemuka di Eropa dan juga para pemimpin
militer,  politikus,  dermawan  dan  teman-temannya.  Usaha  itu  segera  membuahkan  hasil  yang  tidak  terduga.  Dunant
diundang  kemana-mana  dan  dipuji  dimana-mana.  Banyak  orang  yang  tertarik  dengan  ide  Henry  Dunant,  termasuk
Gustave Moynier,  seorang  pengacara  dan  juga  ketua  dari The Geneva  Public Welfare  Society  (GPWS). Moynier  pun
mengajak Henry Dunant untuk mengemukakan idenya dalam pertemuan GPWS yang berlangsung pada 9 Februari 1863
di  Jenewa.  ternyata,  160 dari  180 orang  anggota GPWS mendukung  ide Dunant. Pada  saat  itu  juga  ditunjuklah  empat
orang anggota GPWS dan dibentuklah KOMITE LIMA untuk memperjuangkan terwujudnya ide Henry Dunant.  Mereka
adalah :
1.  Gustave Moynier
2.  dr. Louis Appia
3.  dr. Theodore Maunoir
4.  Jenderal Guillame-Hendri Dufour 
Adapun  Henry  Dunant,  walaupun  bukan  anggota  GPWS,  namun  dalam  komite  tersebut  ditunjuk  menjadi
sekretaris.  Pada  tanggal  17  Februari  1863, Komite Lima  berganti  nama menjadi  Komite Tetap  Internasional  untuk
Pertolongan Prajurit yang Terluka sekaligus mengangkat ketua baru yaitu Jenderal Guillame – Henri Dufour. 
Pada  bulan  Oktober  1863,  Komite  Tetap  Internasional  untuk  Pertolongan  Prajurit  yang  Terluka,  atas
bantuan  Pemerintah  Swiss,  berhasil  melangsungkan  Konferensi  Internasional  pertama    di  Jenewa  yang  dihadiri
perwakilan  dari  16  negara  (Austria,  Baden,  Beierem,  Belanda,  Heseen-Darmstadt,  Inggris,  Italia,  Norwegia,  Prusia,
Perancis, Spanyol, Saksen, Swedia, Swiss, Hannover dan Hutenberg). Beberapa Negara  tersebut  saat  ini sudah menjadi
Negara bagian dari Jerman. 
Adapun  hasil  dari  konferensi  tersebut,  adalah  disepakatinya  satu  konvensi  yang  terdiri  dari  sepuluh  pasal,
beberapa  diantaranya  merupakan  pasal  krusial  yaitu  digantinya  nama  Komite  Tetap  Internasional  untuk  Menolong Prajurit  yang  Terluka  menjadi  KOMITE  INTERNASIONAL  PALANG  MERAH  atau  ICRC  (International
Committeee  of  the Red Cross)  dan  ditetapkannya  tanda  khusus  bagi  sukarelawan  yang memberi  pertolongan  prajurit
yang luka di medan pertempuran yaitu Palang Merah diatas dasar putih. 
Pada  akhir  konferensi  internasional  1863,  gagasan  pertama  Dunant  –  untuk  membentuk  perhimpunan  para
sukarelawan di setiap negara pun menjadi kenyataan. Beberapa perhimpunan serupa dibentuk beberapa bulan kemudian
setelah  berlangsungnya  konferensi  internasional  di  Wurttemburg,  Grand  Duchy  of  Oldenburg,  Belgia  dan  Prusia.
Perhimpunan  lain pun segera berdiri seperti di Denmark, Perancis,  Italy, Mecklenburgh-schwerin, Spain, Hamburg dan
Hesse. Pada waktu itu mereka disebut sebagai Komite Nasional atau Perhimpunan Pertolongan.  
Selanjutnya, dengan dukungan pemerintah Swiss kembali, diadakanlah Konferensi Diplomatik yang dilaksanakan
di Jenewa pada tanggal 8 sampai 28 Augustus 1864. 16 negara dan empat institusi donor mengirimkan wakilnya. Sebagai
bahan  diskusi,  sebuah  rancangan  konvensi  disiapkan  oleh  Komite  Internasional.  Rancangan  tersebut  dinamakan
“Konvensi  Jenewa  untuk memperbaiki  kondisi  tentara  yang  terluka  di medan  perang”  dan  disetujui  pada  tanggal  22
Agustus 1864. Lahirlah HPI modern. Konvensi itu mewujudkan ide Dunant yang kedua, yaitu untuk memperbaiki situasi
prajurit  yang  terluka  pada  saat  peperangan  dan membuat  negara-negara memberikan  status  netral  pada  prajurit  yang
terluka dan orang-orang yang merawatnya yaitu personil kesehatan.

B. Komponen Gerakan
Liga Perhimpunan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah
Pada  akhir  perang  dunia  pertama  sebagian  besar  daerah  di  Eropa  sangat  kacau,  ekonomi  rusak,  populasi
berkurang  drastis  karena  epidemi.  Sejumlah  besar  pengungsi  yang  miskin  dan  orang  yang  tidak  mempunyai
kewarganegaraan memenuhi benua  itu. Perang  tersebut  sangat  jelas menunjukkan perlunya kerjasama yang kuat  antara
perhimpunan Palang Merah yang karena aktivitasnya dalam masa perang dapat menarik  ribuan  sukarelawan. Henry P.
Davison, Presiden Komite Perang Palang Merah Amerika, mengusulkan pada konferensi internasional medis (April 1919,
Cannes, Perancis) untuk “mem-federasikan perhimpunan palang merah dari berbagai negara menjadi sebuah organisasi
setara  dengan  liga  bangsa-bangsa;  dalam  hal  peperangan  dunia  untuk memperbaiki  kesehatan, mencegah  penyakit  dan
mengurangi penderitaan.” 
Liga Perhimpunan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah1
 kemudian secara formal terbentuk dengan markas
besarnya di Paris oleh Perhimpunan Palang Merah dari Perancis,  Inggris,  Itali, Jepang, Amerika Serikat pada  tanggal 5
Mei 1919 dengan  tujuan utama memperbaiki kesehatan pada negara-negara yang  telah sangat menderita setelah perang.
Liga  itu  juga  bertujuan  untuk  „memperkuat  dan menyatukan  aktivitas  kesehatan  yang  sudah  ada  dalam  Perhimpunan
Palang Merah dan  untuk mempromosikan pembentukan perhimpunan baru.‟ Bagian penting dari  kerja Federasi  adalah
menyediakan dan mengkoordinasi bantuan bagi korban bencana alam dan epidemi. Sejak 1939 markas permanennya telah
berada di Jenewa. Pada  tahun 1991, keputusan diambil untuk merubah nama Liga Perhimpunan Palang Merah menjadi
Federasi Internasional Perhimpunan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah atau IFRC (International Federation of
the Red Cross and Red Crescent Societis). 
Selanjutnya,  baik  IFRC,  ICRC  dan Perhimpunan Nasional, merupakan  bagian  dari  komponen Gerakan Palang
Merah  dan  Bulan  Sabit  Merah  atau  biasa  disebut  dengan  ”Gerakan”  saja.  Komponen  Gerakan  dalam  menjalankan
tugasnya sesuai Prinsip Dasar dan mandat masing-masing sebagaimana yang disebut dalam Statuta Gerakan. 

ICRC
Sebagai  sebuah  lembaga  swasta  dan mandiri,  ICRC  bertindak  sebagai  penengah  yang  netral  antara  dua  negara
yang berperang  atau bermusuhan dalam konflik bersenjata  Internasional, konflik bersenjata non-Internasional dan pada
kasus-kasus  kekerasan  internasional.  Selain  itu,  juga  berusaha  untuk menjamin  bahwa  korban  kekerasan  di  atas,  baik
penduduk sipil maupun militer, menerima perlindungan dan pertolongan.
Pada kasus-kasus konflik bersenjata Internasional maupun non-Internasional, aksi kemanusiaan ICRC didasarkan
pada  Konvensi  dan  protokol-protokolnya.  Ini  alasan  mengapa  kita  mengatakan  bahwa  sebuah  mandat  khusus  telah
dipercayakan kepada ICRC oleh komunitas negara-negara peserta konvensi tersebut. Pada kasus-kasus kekerasan internal,
ICRC bertindak berdasar pada hak inisiatif kemanusiaan seperti tercantum dalam Statuta Gerakan.
ICRC  adalah pelindung Prinsip-prinsip Dasar Gerakan dan pengambil keputusan  atas pengakuan perhimpunan-
Perhimpunan  Nasional,  dimana  dengan  itu  mereka  menjadi  bagian  resmi  dari  Gerakan.  ICRC  bekerja  untuk
mengembangkan HPI, menjelaskan, mendiseminasikan dan mempromosikan Konvensi Jenewa. ICRC juga melaksanakan
kewajiban yang ditimpakan padanya berdasarkan Konvensi-konvensi tersebut dan memastikan bahwa konvensi-konvensi
itu dilaksanakan dan mengembangkannya apabila perlu.

Perhimpunan Nasional
Perhimpunan Nasional Palang Merah dan Bulan Sabit Merah adalah organisasi kemanusiaan yang ada di setiap
negara  anggota  penandatangan Konvensi  Jenewa. Tidak  ada  negara  yang  dapat memiliki  lebih  dari  satu  Perhimpunan
                                                
1
 Pada saat itu, beberapa negara dimulai dari kerajaan Ottonam (Turki), sudah menggunakan Lambang Bulan Sabit Merah sebagai Lambang
perhimpunan nasionalnya.  
 Nasional. Sebelum  sebuah perhimpunan baru disetujui oleh  ICRC dan menjadi  anggota Federasi, beberapa syarat ketat
harus dipenuhi. Menurut Statuta Gerakan, Perhimpunan Nasional yang baru didirikan, harus disetujui oleh ICRC. Untuk
dapat memperoleh persetujuan dari ICRC, sebuah Perhimpunan Nasional harus memenuhi 10 syarat yaitu:
•  Didirikan disuatu Negara Peserta Konvensi Jenewa 1949 
•  Satu-satunya Perhimpunan PM/BSM Nasional di Negaranya 
•  Diakui oleh Pemerintah Negaranya 
•  Memakai nama dan lambang Palang Merah atau Bulan Sabit Merah
•  Bersifat mandiri 
•  Memperluas kegiatan di seluruh wilayah 
•  Terorganisir dalam menjalankan tugasnya dan dilaksanakan diseluruh wilayah negaranya  
•  Menerima anggota tanpa membedakan latar belakang 
•  Menyetujui Statuta Gerakan
•  Menghormati Prinsip-prinsip Dasar Gerakan dan menjalankan tugasnya sejalan dengan prinsip-prinsip HPI

IFRC
Seluruh  Perhimpunan Nasional  adalah  anggota  dari  IFRC.  Badan  ini mendukung  aktivitas  kemanusiaan  yang
dilaksanakan  oleh Perhimpunan Nasional  atas  nama  kelompok-kelompok  rentan  dan  bertindak  sebagai  juru  bicara  dan
sebagai  wakil  Internasional  mereka.  Federasi  mendukung  Perhimpunan  Nasional  dan  ICRC  dalam  usahanya  untuk
mengembangkan dan menyebarluaskan pengetahuan tentang HPI dan mempromosikan Prinsip-prinsip Dasar Gerakan.

LAMBANG PALANG MERAH
DAN BULAN SABIT MERAH INTERNASIONAL

A. Sejarah Lambang
Lambang Palang Merah
Sebelum Lambang Palang Merah diadopsi sebagai Lambang yang netral untuk memberikan pertolongan kepada
tentara  yang  terluka  di  medan  perang,  pada  waktu  itu  setiap  pelayanan  medis  kemiliteran  memiliki  tanda  pengenal
sendiri-sendiri dengan warna yang berbeda-beda. Austria misalnya, menggunakan bendera putih. Perancis menggunakan
bendera merah  dan Spanyol menggunakan  bendera  kuning. Akibatnya, walaupun  tentara  tahu  apa  tanda  pengenal  dari
personel medis mereka, namun biasanya mereka tidak tahu apa tanda pengenal personel medis lawan mereka. Pelayanan
medis pun tidak dianggap sebagai pihak yang netral. Melainkan dipandang sebagai bagian dari kesatuan tentara, sehingga
tanda pengenal  tersebut bukannya memberi  perlindungan  namun  juga dianggap  sebagai  target bagi  tentara  lawan yang
tidak mengetahui apa artinya.
Lambat  laun  muncul  pemikiran  yang  mengarah  kepada  pentingnya  mengadopsi  Lambang  yang  menawarkan
status netral kepada mereka yang membantu korban luka dan menjamin pula perlindungan mereka yang membantu di
medan  perang.  Kepentingan  tersebut  menuntut  dipilihnya  hanya  satu  Lambang.  Namun  yang  menjadi  masalah
kemudian,  adalah memutuskan  bentuk Lambang  yang  akan  digunakan  oleh  personel medis  sukarela  di medan  perang.
Dalam suatu kurun waktu,  ikat  lengan berwarna putih dipertimbangkan sebagai salah satu kemungkinan. Namun, warna
putih  telah  digunakan  dalam  konflik  bersenjata  oleh  pembawa  bendera  putih  tanda  gencatan  senjata,  khususnya  untuk
menyatakan  menyerah.  Penggunaan  warna  putih  pun  dapat  menimbulkan  kebingungan  sehingga  perlu  dicari  suatu
kemungkinan Lambang lainnya. 
Delegasi dari Konferensi Internasional tahun 1863 akhirnya memilih Lambang Palang Merah di atas dasar putih,
warna  kebalikan dari bendera nasional Swiss  (palang putih diatas dasar merah)  sebagai bentuk penghormatan  terhadap
Negara  Swiss  yang  memfasilitasi  berlangsungnya  Konferensi  Internasional  saat  itu.  Bentuk  Palang  Merah  pun
memberikan  keuntungan  teknis  karena  dinilai  memiliki  desain  yang  sederhana  sehingga  mudah  dikenali  dan  mudah
dibuat.  Selanjutnya  pada  tahun  1863, Konferensi  Internasional  bertemu  di  Jenewa  dan  sepakat mengadopsi  Lambang
Palang Merah di atas dasar putih sebagai tanda pengenal perhimpunan bantuan bagi tentara yang terluka – yang kemudian
berubah menjadi  Perhimpunan Nasional  Palang Merah.  Pada  tahun  1864, Lambang  Palang Merah  di  atas  dasar  putih
secara resmi diakui sebagai tanda pengenal pelayanan medis angkatan bersenjata.  

Lambang Bulan Sabit Merah
Delegasi dari Konferensi 1863  tidak memiliki sedikitpun niatan untuk menampilkan sebuah simbol kepentingan
tertentu,  dengan mengadopsi  Palang Merah  di  atas  dasar  putih. Namun  pada  tahun  1876  saat Balkan  dilanda  perang,
sejumlah  pekerja  kemanusiaan  yang  tertangkap  oleh  Kerajaan  Ottoman  (saat  ini  Turki)  dibunuh  semata-mata  karena
mereka memakai ban lengan dengan gambar Palang Merah. Ketika Kerajaan diminta penjelasan mengenai hal ini, mereka
menekankan  mengenai  kepekaan  tentara  kerajaan  terhadap  Lambang  berbentuk  palang  dan  mengajukan  agar
Perhimpunan Nasional dan pelayanan medis militer mereka diperbolehkan untuk menggunakan Lambang yang berbeda
yaitu  Bulan  Sabit Merah.  Gagasan  ini  perlahan-lahan mulai  diterima  dan memperoleh  semacam  pengesahan  dalam
bentuk  “reservasi”  dan  pada Konferensi  Internasional  tahun  1929  secara  resmi  diadopsi  sebagai Lambang  yang  diakui dalam Konvensi, bersamaan dengan Lambang Singa dan Matahari Merah di atas dasar putih yang saat itu dipilih oleh
Persia  (saat  ini  Iran).  Tahun  1980,  Republik  Iran memutuskan  untuk  tidak  lagi menggunakan  Lambang  tersebut  dan
memilih memakai Lambang Bulan Sabit Merah.

Lambang Kristal Merah
Pada  Konferensi  Internasional  yang  ke-29  tahun  2006,    sebuah  keputusan  penting  lahir,  yaitu  diadopsinya
Lambang Kristal Merah  sebagai Lambang  keempat  dalam Gerakan  dan memiliki  status  yang  sama  dengan Lambang
lainnya yaitu Palang Merah dan Bulan Sabit Merah. Konferensi Internasional yang mengesahkan Lambang Kristal Merah
tersebut, mengadopsi Protocol Tambahan  III  tentang penambahan Lambang Kristal Merah untuk Gerakan, yang  sudah
disahkan sebelumnya pada Konferensi Diplomatik tahun 2005.  Usulan membuat Lambang keempat, yaitu Kristal Merah,
diharapkan  dapat menjadi  jawaban,  ketika  Lambang  Palang Merah  dan  Bulan  Sabit Merah  tidak  bisa  digunakan  dan
„masuk‟  ke  suatu  wilayah  konflik.  Mau  tidak  mau,  perlu  disadari  bahwa  masih  banyak  pihak  selain  Gerakan  yang
menganggap bahwa Lambang terkait dengan simbol kepentingan tertentu. 
Penggunaan Lambang Kristal Merah sendiri pada akhirnya memilliki dua pilihan yaitu: dapat digunakan  secara
penuh  oleh  suatu Perhimpunan Nasional,  dalam  arti mengganti Lambang Palang Merah  atau Bulan  Sabit Merah  yang
sudah  digunakan  sebelumnya,  atau menggunakan  Lambang Kristal Merah  dalam waktu  tertentu  saja  ketika  Lambang
lainnya  tidak  dapat  diterima  di  suatu  daerah.  Artinya,  baik  Perhimpunan  Nasional,  ICRC  dan  Federasi  pun  dapat
menggunakan Lambang Kristal Merah dalam suatu operasi kemanusiaan  tanpa mengganti kebijakan merubah Lambang
sepenuhnya. 

B. Ketentuan Lambang
Bentuk dan Penggunaan
Ketentuan mengenai bentuk dan penggunaan Lambang Palang Merah dan Bulan Sabit Merah ada dalam:
1.  Konvensi Jenewa I Pasal 38 – 45
2.  Konvensi Jenewa II Pasal 41 – 45
3.  Protokol 1 Jenewa tahun 1977
4.  Ketetapan Konferensi Internasional Palang Merah XX tahun 1965
5.  Hasil Kerja Dewan Delegasi Gerakan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Internasional tahun 1991 
Pada penggunaannya, penempatan Lambang Palang Merah dan Bulan Sabit Merah tidak boleh sampai menyentuh
pinggiran dan dasar putihnya. Lambang harus utuh dan tidak boleh ditambah lukisan, gambar atau tulisan. Pada Lambang
Bulan  Sabit Merah,  arah menghadapnya  (ke  kanan  atau  ke  kiri)  tidak  ditentukan,  terserah  kepada  Perhimpunan  yang
menggunakannya.
Selanjutnya,  aturan  penggunaan  Lambang  bagi  Perhimpunan  Nasional  maupun  bagi  lembaga  yang  menjalin
kerjasama  dengan  Perhimpunan  Nasional,  misalnya  untuk  penggalangan  dana  dan  kegiatan  sosial  lainnya  tercantum
dalam  “Regulations  on  the Use  of  the  Emblem  of  the  Red  Cross  and  of  the  Red Crescent  by National  Societies”.
Peraturan ini, yang diadopsi di Budapest bulan November 1991, mulai berlaku sejak 1992.  

Fungsi Lambang
Telah ditentukan bahwa Lambang memiliki fungsi untuk :
  Tanda Pengenal yang berlaku di waktu damai
  Tanda Perlindungan yang berlaku diwaktu damai dan perang/konflik 
Apabila digunakan sebagai Tanda Pengenal, Lambang  tersebut harus dalam ukuran kecil, berfungsi pula untuk
mengingatkan bahwa institusi di atas bekerja sesuai dengan Prinsip-prinsip Dasar Gerakan. Pemakaian Lambang sebagai
Tanda Pengenal  juga menunjukan bahwa seseorang, sebuah kendaraan atau bangunan berkaitan dengan Gerakan. Untuk
itu,  Gerakan  secara  organisasi  dapat  mengatur  secara  teknis  penggunaan  Tanda  Pengenal  misalnya  dalam  seragam,
bangunan, kendaraan dan sebagainya. Penggunaan Lambang sebagai Tanda Pengenal pun harus didasarkan pada undang-
undang nasional mengenai Lambang untuk Perhimpunan Nasionalnya. 
Apabila  Lambang  digunakan  sebagai  tanda  pelindung,  Lambang  tersebut  harus  menimbulkan  sebuah  reaksi
otomatis untuk menahan diri dan menghormati di antara kombatan. Lambang harus selalu ditampakkan dalam bentuknya
yang asli. Dengan kata lain, tidak boleh ada sesuatupun yang ditambahkan padanya – baik terhadap Palang Merah, Bulan
Sabit Merah ataupun pada dasarnya yang putih. Karena Lambang tersebut harus dapat dikenali dari jarak sejauh mungkin,
ukurannya harus besar, yaitu sebesar yang diperlukan dalam situasi perang. Lambang menandakan adanya perlindungan
bagi:
  Personel medis dan keagamaan angkatan bersenjata
  Unit dan fasilitas medis angkatan bersenjata
  Unit  dan  transportasi medis  Perhimpunan Nasional  apabila  digunakan  sebagai  perbantuan  terhadap  pelayanan
medis angkatan bersenjata
  Peralatan Medis

 Penyalahgunaan Lambang
Setiap  negara  peserta  Konvensi  Jenewa  memiliki  kewajiban  membuat  peraturan  atau  undang-undang  untuk
mencegah dan mengurangi penyalahgunaan Lambang. Negara secara khusus harus mengesahkan suatu peraturan untuk
melindungi  Lambang  Palang  Merah  dan  Bulan  Sabit  Merah.  Dengan  demikian,  pemakaian  Lambang  yang  tidak
diperbolehkan  oleh  Konvensi  Jenewa  dan  Protokol  Tambahan  merupakan  pelanggaran  hukum.  Bentuk-bentuk
penyalahgunaan Lambang yaitu:
> Peniruan (Imitation): 
Penggunaan  tanda-tanda  yang  dapat  disalah  artikan  sebagai  lambang  Palang  Merah  atau  bulan  sabit  merah
(misalnya warna dan bentuk yang mirip). Biasanya digunakan untuk tujuan komersial.
> Penggunaan yang Tidak Tepat (Usurpation): 
Penggunaan  lambang  Palang  Merah  atau  bulan  sabit  merah  oleh  kelompok  atau  perseorangan  (perusahaan 
komersial, organisasi non-pemerintah, perseorangan, dokter swasta, apoteker dsb) atau penggunaan  lambang oleh orang
yang berhak namun digunakan untuk tujuan yang tidak sesuai dengan Prinsip-prinsip Dasar Gerakan (misalnya seseorang
yang  berhak menggunakan  lambang  namun menggunakannya  untuk  dapat melewati  batas  negara  dengan  lebih mudah
pada saat tidak sedang tugas).
> Penggunaan yang Melanggar Ketentuan/Pelanggaran Berat (Perfidy/Grave misuse)
Penggunaan  lambang  Palang Merah  atau  bulan  sabit  merah  dalam  masa  perang  untuk  melindungi  kombatan
bersenjata  atau  perlengkapan militer  (misalnya  ambulans  atau  helikopter  ditandai  dengan  lambang  untuk mengangkut
kombatan  yang  bersenjata;  tempat  penimbunan  amunisi  dilindungi  dengan  bendera  Palang Merah)  dianggap  sebagai
kejahatan perang.

PRINSIP DASAR GERAKAN PALANG MERAH
DAN BULAN SABIT MERAH INTERNASIONAL

A. Sejarah Munculnya Prinsip Dasar
Definisi
Kata “prinsip” berasal dari bahasa Latin “principium” yang berarti penyebab utama, asal atau dasar. Prinsip juga
dapat  berarti  „suatu  aturan-aturan  dasar  yang mengekspresikan  nilai-nilai  dasar  suatu  kelompok  komunitas  yang  tidak
berubah-ubah dalam keadaan apapun.‟ Sebagai contoh, penghargaan kepada individu adalah suatu prinsip yang mendasari
kemerdekaan. 

Landasan
Banyaknya  Perhimpunan  Nasional  Palang  Merah  dan  Bulan  Sabit  Merah  yang  bekerja  dalam  konteks  yang
berbeda-beda,  dengan  puluhan  juta  anggota,  Gerakan  Palang  Merah  dan  Bulan  Sabit  Merah  memiliki  warna  yang
beraneka  ragam.  Lebih  dari  itu,  pekerjaannya  pada  dasarnya  terdiri  dari  kegiatan  sehari-hari  yang  praktis  dan  yang
seringkali diimprovisasi. Dalam rangka mengatasi perbedaan ini, meminimalisasi ketidakcocokan dan memupuk tindakan
yang  konsisten  dan  efektif, Gerakan memerlukan  standar  yang  universal  sebagai  referensi,  seperangkat  kebijakan  dan
pendekatan yang umum; dengan kata lain, Prinsip-prinsip Dasar.

Batasan
Pekerjaan Gerakan pada awalnya relatif lebih sederhana, karena tugasnya terbatas pada pemberian bantuan pada
tentara  yang  luka  dan  sakit  dalam  masa  perang.  Namun  dengan  berlalunya  waktu,  tugasnya  menjadi  lebih  luas  dan
beraneka-ragam.  Untuk  tetap  dapat  mengontrol  kegiatannya  yang  terus  berkembang,  dan  menghindari  perpecahan,
Gerakan  memformulasikan  prinsip  mereka  sendiri  untuk  diketahui  oleh  semua  orang  dan  untuk  lebih  dapat
mendefinisikan jenis kegiatan kemanusiaan mereka.

Asal-Usul
Sebelum Gerakan mengadopsi tujuh Prinsip Dasar yang ada saat ini, telah banyak kategori Prinsip yang diajukan.
Usulan adanya Prinsip Dasar bagi Gerakan, semula  terdapat pada Deklarasi Oxford (1946), namun  teks masih kasar dan
lepas-lepas. Pada  tahun 1949, adanya Prinsip Dasar  telah disebutkan pula dalam konvensi  I (pasal 44) dan konvensi  IV
(pasal 63). Selanjutnya berkembang pada  tahun 1955 dimana   Jean Pictet mulai menulis penelitiannya secara sistematik
dan membagi Prinsip menjadi 2 kategori yaitu Prinsip Dasar (fumandental) dan Prinsip Organis (Organic). Pada konteks
Palang Merah, suatu prinsip menurut Jean Pictet adalah aturan-aturan  tindakan yang wajib, berdasar pada pertimbangan
dan pengalaman, yang mengatur kegiatan dari semua komponen Gerakan pada setiap saat. Sejak tahun 1965, Buku Pictet
pun menjadi  dasar  pertimbangan  tertulis  dan  resmi  diumumkan  di Viena,  konverensi  Internasional  Palang Merah  dan
Bulan  Sabit Merah  ke-20.  namun  demikian,  baru  pada  tahu  1979,  Pictet menulis  uraian  tentang  Prinsip  Dasar  yang
ditulisnya. Secara resmi, Konverensi Internasional Palang Merah dan Bulan Sabit Merah ke-25 mengadopsi Tujuh Prinsip
Dasar  dan  memasukannya  kedalam  pembukaan  statuta  baru.  Ketujuh  Prinsip  dasar  itu  meliputi  :  Kemanusiaan,
Kesamaan, Kenetralan, Kemandirian, Kesukarelaan, Kesatuan dan Kesemestaan.  
 Makna dan Kategori
Ketujuh  prinsip  merupakan  satu  kesatuan  yang  tidak  dapat  dipisahkan.  Prinsip-prinsip  tersebut  dapat  dilihat
sebagai suatu piramida yang akan rusak apabila salah satu bagiannya  jatuh atau diambil. Meskipun setiap bagian saling
terikat  dan  tergantung,  masing-masing  memiliki  peranan  sendiri-sendiri.  Prinsip-prinsip  ini  dapat  dibagi  dalam  tiga
kategori, yaitu: 
> Prinsip Substantif/utama, meliputi Kemanusiaan dan Kesamaan
Prinsip-prinsip  ini berlaku  sebagai  inspirasi organisasi, merupakan  tujuan dari Gerakan, menentukan  tindakan-
tindakan di masa perang, pada saat bencana alam atau kegiatan lain yang dilakukan untuk melayani umat manusia.
> Prinsip Derivatif/ turunan, meliputi Kenetralan dan Kemandirian
Prinsip  yang memungkinkan  untuk mengaplikasikan  prinsip  substansi  /  utama, menjamin  kepercayaan  semua
orang dan memungkinkan Gerakan untuk mencapai tujuannya tanpa masalah.
> Prinsip dan organis, meliputi Kesukarelaan, Kesatuan dan Kesemestaan.
Prinsip-prinsip  ini  sebagai  standar  untuk  aplikasi,  berhubungan  dengan  struktur  dan  operasi  organisasi,
merupakan „batu fondasi‟ dari Gerakan. Tanpanya Gerakan tidak dapat bertindak atau akan menghilang secara perlahan.

Hubungan Antarprinsip
Prinsip-prinsip ini saling berhubungan. Hubungan antar prinsip sangatlah logis, sehingga pada tingkatan tertentu
setiap prinsip berasal dari prinsip lainnya. 
Prinsip non-diskriminasi  (kesamaan) berhubungan dengan prinsip  inti Kemanusiaan. “Ras dan agamamu  tidak
penting  untukku.  Hanya  kenyataan  bahwa  kamu  menderita,”  kata  Louis  Pasteur.  Pernyataan  ini  memberi  penjelasan
bahwa konsep non-diskriminasi secara luas sangat berkaitan dengan dengan konsep Kemanusiaan. Satu mendukung yang
lainnya.  Prinsip  proporsional  (dalam Kesamaan)  berasal  dari  prinsip Kemanusiaan  dan  non-diskriminasi  (Kesamaan).
Dapat  ditambahkan  pada  pernyataan  Pasteur  “...  dan  aku  akan  merawatmu  berdasarkan  tingkat  keparahan
penderitaanmu.” Bantuan  terbesar  harus diberikan  kepada mereka  yang memiliki kebutuhan  terbesar. Perhatian  khusus
atas “keseimbangan/proporsionalitas” adalah konsekwensi logis dari kedua prinsip di atas.   
Kenetralan dan kemandirian bukan hanya saling berkaitan satu dengan  lainnya, namun  juga berkaitan dengan
non-diskriminasi  (kesamaan).  Tentu  saja  seseorang  tidak  dapat  menyatakan  dirinya  netral  selagi  ia  berada  di  bawah
kekuasaan orang  lain. Begitu pula seseorang  tidak dapat menyatakan dirinya mandiri apabila  ia memihak. Kecerobohan
terkecil dalam hal ini akan menyebabkan salah satu dari Prinsip ini terdengar kosong dan tidak berarti. Karenanya kedua
prinsip  ini  sungguh-sungguh  saling  bergantung  satu  dengan  lainnya,  dan  tidak  terpisahkan  dengan  prinsip  non-
diskriminasi, yang muncul sebagai suatu kewajiban untuk bertindak tanpa pilih kasih.
Kesukarelaan  (termasuk  tidak  pamrih)  terkait  dengan  Kemanusiaan.  Untuk  menyatakan  bahwa  seseorang
“memiliki rasa amal  terhadap orang lain” atau “ikut menderita bersama mereka” (dua definsi yang dapat diberikan pada
prinsip Kemanusiaan) tidaklah sesuai dengan sikap perhitungan dan mementingkan diri sendiri. Sifat tidak pamrih dengan
demikian merupakan satu aspek dari prinsip ini. Kesatuan berkait dengan non-diskriminasi (kesamaan): kesatuan berarti
bahwa hanya boleh  ada satu perhimpunan nasional di  setiap negara. Sebagaimana yang  tampak nyata,  ada  resiko besar
bahwa  Perhimpunan  Nasional  dapat  terpengaruh  atau  jatuh  ke  suatu  kecenderungan  pandangan  tertentu.  Dengan
demikian,  non-diskriminasi  sangatlah  penting  bagi  Kesatuan.  Kesemestaan  merupakan  sebagian  dari  lanjutan
kemanusiaan dan non-diskriminasi. Prinsip Kemanusiaan tidak hanya berlaku bagi penderitaan mereka yang dekat dengan
kita  (diskriminasi). Apabila demikian maka  “memiliki  rasa  amal  terhadap orang  lain” menjadi  tidak murni  lagi  karena
hanya  menyangkut  pada  orang-orang  tertentu  saja.  Maka  secara  logis,  Kemanusiaan  dan  non-diskriminasi  bersifat
universal.

Implementasi Prinsip Dasar dalam Aktivitas Kepalangmerahan
a)  Kemanusiaan
”Gerakan  Palang  Merah  dan  Bulan  Sabit  Merah  Internasional  didirikan  berdasarkan  keinginan  memberi
pertolongan  tanpa  membedakan  korban  yang  terluka  di  dalam  pertempuran,  mencegah  dan  mengatasi  penderitaan
sesama manusia. Palang Merah menumbuhkan saling pengertian, persahabatan, kerjasama dan perdamaian abadi bagi
sesama manusia.”
Mewakili  asal-usul  Gerakan,  prinsip  kemanusiaan  menyatakan  bahwa  tidak  boleh  satupun  pelayanan  yang
menguntungkan seseorang yang menderita di manapun mereka berada, ditiadakan. Tujuannya adalah untuk melindungi
hidup  dan  kesehatan  serta menjamin  penghargaan  terhadap manusia.  Di masa  damai,  perlindungan  berarti mencegah
penyakit, bencana atau kecelakaan atau mengurangi efeknya dengan menyelamatkan hidup (mis. pelatihan   Pertolongan
Pertama). Di masa perang, artinya adalah pemberian bantuan kepada mereka yang dilindungi oleh HPI (agar korban tidak
meninggal  kelaparan,  tidak  diperlakukan  secara  semena-semena,  atau  tidak menghilang). Kemanusiaan meningkatkan
saling pengertian, persahabatan, kerjasama dan perdamaian abadi bagi sesama manusia.
b) Kesamaan
”Gerakan  ini  tidak  membuat  perbedaan  atas  dasar  kebangsaan,  kesukuan,  agama  atau  pandangan  politik.
Tujuannya  semata-mata  mengurangi  penderitaan  manusia  sesuai  dengan  kebutuhannya  dan  mendahulukan  keadaan
yang paling parah” Non-diskriminasi  terhadap  kebangsaan,  suku,  agama,  golongan  atau  pandangan  politik  adalah  sebuah  aturan
wajib yang menuntut agar segala perbedaan antara pribadi dikesampingkan, bahwa kawan maupun lawan dibantu secara
merata,  dan  diberikan  berdasarkan  pertimbangan  kebutuhan.  Prioritas  pemberian  bantuan  harus  berdasarkan  tingkat
kedaruratannya serta proporsional dengan penderitaan yang ingin diatasi
c)  Kenetralan
”Agar  senantiasa mendapat  kepercayaan  dari  semua  pihak,  gerakan  ini  tidak boleh memihak  atau melibatkan
diri dalam pertentangan politik, kesukuan, agama atau ideologi.”
Kenetralan berarti menahan diri dari memihak dalam permasalahan politik, agama, ras atau  ideologi. Apabila
Palang  Merah  atau  Bulan  Sabit  Merah  memihak,  mereka  akan  kehilangan  kepercayaan  dari  salah  satu  kelompok
masyarakat  dan  sulit  untuk melanjutkan  ativitas mereka.  Setiap  anggota  Gerakan  dituntut  untuk  dapat menahan  diri,
bersikap netral dan tidak mengungkapkan pendapat mereka selama sedang bertugas.
d) Kemandirian
”Gerakan  ini  bersifat  mandiri.  Perhimpunan  Nasional  di  samping  membantu  Pemerintahnya  dalam  bidang
kemanusiaan,  juga  harus mentaati  peraturan  negaranya,  harus  selalu menjaga  otonominya  sehingga  dapat  bertindak
sejalan dengan prinsip-prinsip gerakan ini.”
Secara umum, kemandirian berarti bahwa  institusi Palang Merah dan Bulan Sabit Merah menolak  segala  jenis
campur  tangan yang bersifat politis,  ideologis  atau  ekonomis yang dapat mengalihkan mereka dari  jalur  kegiatan yang
telah  ditetapkan  oleh  tuntutan  kemanusiaan.  Contohnya,  tidak  boleh  menerima  sumbangan  uang  dari  siapapun  yang
mensyaratkan  bahwa  peruntukkannya  ditujukan  bagi  sekelompok  orang  secara  khusus  berdasarkan  alasan  politis,
kesukuan atau agama dengan mengesampingkan kelompok  lainnya yang kebutuhannya mungkin  lebih mendesak. Tidak
ada  suatu  institusi  Palang Merah  pun  yang  boleh  tampak  sebagai  alat  kebijakan  pemerintah. Walaupun  Perhimpunan
Nasional  diakui  oleh  pemerintahnya  sebagai  alat  bantu  pemerintah,  dan  harus  tunduk  pada  hukum  negaranya, mereka
harus selalu menjaga otonomi mereka agar dapat bertindak sesuai dengan prinsip Gerakan setiap saat.
e)  Kesukarelaan 
“Gerakan  ini  adalah  gerakan  pemberi  bantuan  sukarela,  yang  tidak  didasari  oleh  keinginan  untuk  mencari
keuntungan apa pun.”
Kesukarelaan  adalah  proposal  yang  sangat  tidak mementingkan  diri  sendiri  dari  seseorang  yang melaksanakan
suatu  tugas  khusus  untuk  orang  lain  dalam  semangat  persaudaraan manusia. Apakah  dilakukan  tanpa  bayaran maupun
untuk  suatu pengakuan  atau kompensasi,  faktor utama  adalah bahwa pelaksanaannya bukanlah dengan keinginan untuk
memperoleh keuntungan finansial namun dengan komitmen pribadi dan kesetiaan terhadap tujuan kemanusiaan. 
f)  Kesatuan
”Di dalam suatu negara hanya ada satu perhimpunan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah yang terbuka untuk
semua orang dan melaksanakan tugas kemanusiaan di seluruh wilayah.”
Prinsip  kesatuan  secara  khusus  berhubungan  dengan  struktur  institusi  dari  Perhimpunan  Nasional.  Di  negara
manapun, peraturan pemerintah yang mengakui sebuah Perhimpunan Nasional biasanya menyatakan bahwa Perhimpunan
tersebut  merupakan  satu-satunya  Perhimpunan  Nasional  yang  dapat  melaksanakan  segala  kegiatannya  di  wilayah
nasional. Kenyataan bahwa sebuah Perhimpunan merupakan satu-satunya di negaranya juga merupakan salah satu syarat
agar dapat diakui oleh ICRC.
g)  Kesemestaan
”Gerakan  Palang Merah  dan  Bulan  Sabit Merah  Internasional  adalah  bersifat  semesta.  Setiap  Perhimpunan
Nasional mempunyai hak dan tanggung jawab yang sama dalam menolong sesama manusia.”

















 HUKUM PERIKEMANUSIAAN INTERNASIONAL

Sejarah HPI
Salah  apabila  kita mengatakan  bahwa  pendirian  Palang Merah  di  tahun  1863  ataupun  pengadopsian Konvensi
Jenewa  pertama  tahun  1864  menandakan  kelahiran  hukum  perikemanusiaan  sebagaimana  yang  kita  kenal  saat  ini.
Sebagaimana tidak ada satu masyarakat yang tidak memiliki seperangkat aturan, begitu pula tidak pernah ada perang yang
tidak memiliki aturan jelas maupun samar-samar yang mengatur tentang mulai dan berakhirnya suatu permusuhan, serta
bagaimana perang itu dilaksanakan. 
HPI  sudah  terintis  sejak  dulu  sebelum Gerakan  berdiri. Pada  awalnya  ada  aturan  tidak  tertulis berdasarkan
kebiasaan yang mengatur tentang sengketa bersenjata. Kemudian perjanjian bilateral (kartel) yang kerincian aturannya
berbeda-beda, lambat-laun mulai diberlakukan. Pihak-pihak yang bertikai kadangkala meratifikasinya setelah permusuhan
berakhir. Ada pula peraturan yang dikeluarkan oleh negara kepada pasukannya (lihat “Kode Lieber”). Hukum yang saat
itu  ada  terbatas  pada  waktu  dan  tempat,  karena  hanya  berlaku  pada  satu  pertempuran  atau  sengketa  tertentu  saja.
Aturannya juga bervariasi, tergantung pada masa, tempat, moral dan keberadaban. 
Dari sejak permulaan perang sampai pada munculnya hukum perikemanusiaan yang kontemporer,  lebih dari 500
kartel,  aturan  bertindak  (code  of  conduct),  perjanjian  dan  tulisan-tulisan  lain  yang  dirancang  untuk  mengatur
tentang  pertikaian  telah  dicatat. Termasuk  di  dalamnya  Lieber Code,  yang mulai  berlaku  pada  bulan April  1863  dan
memiliki nilai penting karena menandakan percobaan pertama untuk mengkodifikasi hukum dan kebiasaan perang yang
ada.  Namun,  tidak  seperti  Kovensi  Jenewa  yang  dibentuk  setahun  setelah  itu,  Lieber  Code  ini  tidak memiliki  status
perjanjian  sebagaimana  yang  dimaksudkannya  karena  hanya  diberlakukan  kepada  tentara Union  yang  berperang  pada
waktu Perang Saudara di Amerika.
Ada  dua  pria  memegang  peran  penting  dalam  pembentukan  HPI  selanjutnya,  yaitu  Henry  Dunant  dan
Guillaume-Henri Dufour. Dunant memformulasikan gagasan  tersebut dalam Kenangan dari Solferino (A Memory of
Solferino), diterbitkan  tahun 1862. Berdasarkan pengalamannya dalam perang, General Dufour  tanpa membuang-buang
waktu menyumbangkan dukungan moralnya, salah satunya dengan memimpin Konferensi Diplomatik tahun 1864.
Terhadap  usulan  dari  kelima  anggota  pendiri  ICRC,  Pemerintah  Swiss   mengadakan Konferensi Diplomatik
tahun  1864,  yang  dihadiri  oleh  16  negara  yang mengadopsi Konvensi  Jenewa untuk perbaikan keadaan  yang  luka
dan sakit dalam angkatan bersenjata di medan pertempuran darat.

Definisi
Hukum Perikemanusiaan  Internasional membentuk  sebagian besar dari Hukum  Internasional Publik dan  terdiri
dari peraturan yang melindungi orang yang tidak atau tidak lagi terlibat dalam persengketaan dan membatasi alat dan cara
berperang di masa sengketa bersenjata. 
Lebih tepatnya, yang dimaksud ICRC dengan hukum perikemanusiaan yang berlaku di masa sengketa bersenjata
adalah semua ketentuan yang terdiri dari perjanjian dan kebiasaan internasional yang bermaksud untuk mengatasi segala
masalah  kemanusiaan  yang  timbul  pada  waktu  pertikaian  bersenjata  internasional  maupun  non-internasional;  hukum
tersebut membatasi  atas dasar kemanusiaan, hak-hak dari pihak yang  terlibat dalam pertikaian untuk memilih cara-cara
dan  alat  peperangan,  serta  memberikan  perlindungan  kepada  orang  yang  menjadi  korban  maupun  harta  benda  yang
terkena dampak pertikaian bersenjata.
Kombatan  hanya  boleh  menyerang  target  militer,  wajib  menghormati  non-kombatan  dan  objek  sipil  dan
menghindari  penggunaan  kekerasan  yang  berlebihan.  Istilah  hukum  perikemanusiaan  internasional,  hukum
humaniter,  hukum  sengketa  bersenjata  dan  hukum  perang  dapat  dikatakan  sama  pengertiannya.  Organisasi
internasional, perguruan tinggi dan bahkan Negara cenderung menggunakan istilah hukum perikemanusiaan internasional
(atau hukum humaniter), sedangkan istilah hukum sengketa bersenjata dan hukum perang biasa digunakan oleh angkatan
bersenjata. Palang Merah Indonesia sendiri menggunakan istilah Hukum Perikemanusiaan Internasional. 

Hukum Jenewa dan Hukum Den Haag
Hukum Perikemanusiaan Internasional (HPI) – dikenal juga dengan nama hukum sengketa bersenjata atau hukum
perang – memiliki dua cabang yang terpisah:
>  Hukum Jenewa, atau hukum humaniter, yaitu hukum yang dibentuk untuk melindungi personil militer yang tidak lagi
terlibat dalam peperangan dan mereka yang tidak terlibat secara aktif dalam pertikaian, terutama penduduk sipil; 
>  Hukum Den Haag,  atau  hukum  perang,  adalah  hukum  yang menentukan  hak  dan  kewajiban  pihak  yang  bertikai
dalam melaksanakan operasi militer dan membatasi cara penyerangan.

Prinsip
Hukum perikemanusiaan didasarkan pada prinsip pembedaan antara kombatan dan non-kombatan serta antara
objek  sipil  dan  objek  militer.  Prinsip  necessity  atau  kepentingan  kemanusiaan  dan  militer,  perlunya  menjaga
keseimbangan  antara  kepentingan  kemanusiaan  di  satu  pihak  dengan  kebutuhan militer  dan  keamanan  di  pihak  lain.
Prinsip pencegahan penderitaan yang tidak perlu (unecessary suffering), yaitu hak pihak yang bertikai untuk memilih
cara dan alat untuk berperang  tidaklah  tak  terbatas, dan para pihak  tidak diperbolehkan mengakibatkan penderitaan dan kehancuran  secara melampaui batas  serta    tidak  seimbang dengan  tujuan  yang hendak dicapai, yaitu melemahkan  atau
menghancurkan  potensi militer  lawan.  Prinsip  proporsionalitas,    mencoba  untuk menjaga  keseimbangan  antara  dua
kepentingan  yang  berbeda,  kepentingan  yang  berdasarkan  pertimbangan  atas  kebutuhan  militer,  dan  yang  lainnya
berdasarkan tuntutan kemanusiaan, apabila hak atau larangannya tidak mutlak.

Aturan Dasar
ICRC telah memformulasikan tujuh aturan yang mencakup inti dari hukum perikemanusian internasional. Aturan-
aturan  ini  tidak memiliki  kekuatan hukum  seperti  sebuah perangkat hukum  internasional  dan  tidak dimaksudkan  untuk
menggantikan perjanjian-perjanjian yang berlaku.
1.   Orang yang tidak atau tidak dapat  lagi mengambil bagian dalam pertikaian  patut memperoleh penghormatan
atas hidupnya, atas keutuhan harga diri dan fisiknya. Dalam setiap kondisi, mereka harus dilidungi dan diperlakukan
secara manusiawi, tanpa pembedaan berdasarkan apa pun. 
2.   Dilarang  untuk membunuh  atau melukai  lawan  yang menyerah  atau  yang  tidak  dapat  lagi  ikut  serta  dalam
pertempuran. 
3.   Mereka  yang  terluka  dan  yang  sakit  harus  dikumpulkan  dan  dirawat  oleh  pihak  bertikai  yang  menguasai
mereka.  Personil medis,  sarana medis,  transportasi medis  dan  peralatan medis  harus  dilindungi. Lambang  palang
merah atau bulan sabit merah di atas dasar putih adalah  tanda perlindungan atas personil dan objek tersebut di atas,
dan harus dihormati.
4.   Kombatan  dan  penduduk  sipil  yang  berada  di  bawah  penguasaan  pihak  lawan  berhak  untuk  memperoleh
penghormatan atas hidup, harga diri, hak pribadi, keyakinan politik, agama dan keyakinan  lainnya. Mereka harus
dilindungi dari segala bentuk kekerasan ataupun balas dendam. Mereka berhak berkomunikasi dengan keluarganya
serta berhak menerima bantuan. 
5.   Setiap orang berhak atas jaminan peradilan dan tak seorangpun dapat dituntut untuk bertanggungjawab atas suatu
tindakan yang  tidak dilakukannya. Tidak seorangpun dapat dijadikan sasaran penyiksaan  fisik maupun mental atau
hukuman badan yang kejam yang merendahkan martabat ataupun perlakuan lainnya. 
6.   Tidak  satu  pun  pihak  bertikai maupun  anggota  angkatan  bersenjatanya  mempunyai  hak  tak  terbatas  untuk
memilih  cara  dan  alat  berperang.  Dilarang  untuk  menggunakan  alat  dan  cara  berperang  yang  berpotensi
mengakibatkan penderitaan dan kerugian yang tak perlu. 
7.   Pihak  bertikai  harus  selalu  membedakan  antara  penduduk  sipil  dan  kombatan  dalam  rangka  melindungi
penduduk  sipil  dan  hak milik mereka.  Penduduk  sipil,  baik  secara  keseluruhan maupun  perseorangan  tidak  boleh
diserang. Penyerangan hanya boleh dilakukan semata-mata kepada objek militer.

HPI dan HAM
Hukum  perikemanusiaan  internasional  dan  hukum  hak  asasi manusia  internasional  (selanjutnya  disebut
hukum HAM) saling melengkapi. Keduanya bermaksud untuk melindungi individu, walaupun dilaksanakan dalam situasi
dan cara yang berbeda. HPI berlaku dalam situasi sengketa bersenjata, sedangkan hukum HAM atau setidaknya sebagian
daripadanya, melindungi individu di setiap saat, dalam masa perang maupun damai. Tujuan dari HPI adalah melindungi
korban dengan berusaha membatasi penderitaan yang diakibatkan oleh perang, hukum HAM bertujuan untuk melindungi
individu dan menjamin perkembangannya.
Kepedulian  utama  HPI  adalah  mengenai  perlakuan  terhadap  individu  yang  jatuh  ke  tangan  pihak  lawan  dan
mengenai  metode  peperangan,  sedangkan  hukum  HAM  pada  intinya  mencegah  perlakuan  semena-mena  dengan
membatasi  kekuasaan  negara  atas    individu.  Hukum  HAM  tidak  bertujuan  untuk mengatur  bagaimana  suatu  operasi
militer dilaksanakan. Untuk memastikan penghormatannya, HPI membentuk suatu mekanisme yang mengadakan sebuah
bentuk pengawasan  terus-menerus atas pelaksanaannya; mekanisme  itu memberi penekanan pada kerjasama antara para
pihak  yang  bersengketa  dengan  penengah  yang  netral,  dengan  tujuan  untuk  mencegah  pelanggaran.  Sebagai
konsekwensinya,  pendekatan  ICRC  yang  perannya menjamin  penghormatan  terhadap HPI memberikan  prioritas  pada
persuasi.
Mekanisme  untuk memonitor  hukum HAM  sangat  bevariasi. Dalam  banyak  kasus,  lembaga  yang  berwenang
dituntut  untuk  menentukan  apakan  sebuah  negara  telah  menghormati  hukum.  Contohnya,  Mahkamah  HAM  Eropa,
setelah penyelesaian pendahuluan oleh seseorang, dapat menyatakan bahwa Konvensi HAM Eropa  telah dilanggar oleh
penguasa negara. Penguasa  ini selanjutnya wajib untuk mengambil  langkah yang perlu untuk memastikan bahwa situasi
internal  itu  sesuai  dengan  persyaratan  yang  diminta  oleh  Konvensi.  Mekanisme  pelaksanaan  HAM  pada  intinya
bermaksud untuk meluruskan segala kerusakan yang terjadi.






 CODE OF CONDUCT & SAFER ACCESS

Code of Conduct
Code  of  conduct  atau  kode  perilaku  adalah  Etika  dan  Aturan  Main  Antara  Badan  Kemanusiaan
Internasional  dalam Kegiatan Bantuan Kemanusiaan. Merupakan  rumusan  dari  hasil Kesepakatan  antara  7(tujuh)
Badan Kemanusiaan  Internasional yaitu  :    ICRC, IFRC, Caritas  International,  International Save  the Children, Lutheran
World Federation, Oxfam dan World Council of Churches. Kesepakatan tersebut berupa ketentuan dasar yang mengatur
standardisasi Perilaku Badan Kemanusiaan  Internasional serta Pekerja Kemanusiaan untuk menjamin  Independensi dan
Efektifitas dalam penyelenggaraan kegiatan kemanusiaan
Agar penerapan menyeluruh dapat diterapkan, maka Code of Conduct ini diadopsi oleh Federasi melalui General
Assembly and The Council of Delegates (Birmingham, 1993) dan International Conference (Geneva, 1995);
Code of  conduct  terdiri  dari  10(sepuluh) Prinsip Dasar  berkenaan  dengan Humanitarian Relief Operation  serta
3(tiga)  Annex  yang mengatur  hubungan  antara  Badan/Organisasi Kemanusiaan  dengan  Pemerintah  Setempat, Negara
Donor  dan  Organisasi  Antar  Negara  khususnya  pada  saat  bencana.  Karena  prinsipnya  yang  mengikat  dan  harus
diterapkan secara nyata oleh personel  lembaga yang bersangkutan, maka bagi Federasi,  tugas seorang anggota Delegasi
Federasi  jika ditempatkan di  suatu negara, maka  ia  harus mensosialisasikan Code of Conduct  ini kepada Perhimpunan
Nasional dimana ia ditugaskan. 
Adapun kesepuluh kode perilaku tersebut adalah :
1.  Kewajiban kemanusiaan adalah prioritas utama.
-  Pengakuan  atas  Hak  Korban  Bencana/Konflik  yaitu  –  Hak  Untuk  Memperoleh  Bantuan  Kemanusiaan  –
dimanapun ia berada
-  Komitment  untuk  menyediakan  Bantuan  Kemanusiaan  kepada  korban  bencana/konflik,  diamanapun  atau
kapanpun ia diperlukan
-  Akses terhadap lokasi bencana/konflik dan terhadap korban tidak dihalang-halangi
-  Dalam memberikan bantuan kemanusiaan tidak menjadi bagian dari suatu kegiatan politik atau partisan
2.  Bantuan  diberikan  tanpa  pertimbangan  ras,  kepercayaan  ataupun  kebangsaan  dari  penerima  bantuan  atau  pun
perbedaan dalam bentuk apa pun.
-  Bantuan kemanusiaan diperhitungkan berdasarkan kebutuhan semata
-  Proportional
-  Mengakui  peranan  penting  Kaum  Wanita  dan  menjamin  bahwa  peranan  tersebut  harus  didukung  dan
didayagunakan
-  Terjaminnya  akses  terhadap  sumber-sumber  daya  yang  diperlukan  serta  akses  yang  seimbang  terhadap  korban
bencana/konflik
3.  Bantuan tidak boleh digunakan untuk kepentingan politik dan agama.
-  Tidak mengikuti suatu pendirian politik atau keagamaan tertentu
-  Bantuan diberikan kepada Individu, Keluarga dan Kelompok Masyarakat yang memerlukan bantuan
-  tidak tergantung/memandang pada predikat apa yang melekat pada penerima bantuan
4.  Tidak menjadi alat kebijakan pemerintah luar negeri.
- Badan  Kemanusiaan  Internasional  harus  dapat  menjamin  Independensinya  terhadap  Negara  Donor  yang
mempercayakan penyaluran bantuannya;
- Badan Kemanusiaan Internasional harus dapat mengupayakan lebih dari satu sumber bantuan
5.  Menghormati kebiasaan dan adat istiadat.
- Tidak bertentangan dengan adat istiadat setempat
6.  Membangun respon bencana sesuai kemampuan setempat.
- Memanfaatkan keberadaan LSM serta tenaga lokal yang tersedia dalam implementasi kegiatan
- Pengadaan komoditas bantuan serta Jasa dari sumber-sumber setempat;
- Mengutamakan koordinasi
7.  Melibatkan penerima bantuan dalam proses manajemen bencana.
- Mengupayakan partisipasi masyarakat hingga pemanfaatan sumber-sumber daya masyarakat yang tersedia;
8.  Bantuan yang diberikan hendaknya untuk mengurangi kerentanan terhadap bencana di kemudian hari.
- Bantuan  kemanusiaan  diberikan,  tidak  semata-mata  memenuhi  kebutuhan  dasar,  tetapi  juga  diupayakan  agar 
dapat mengurangi tingkat kerentanan masyarakat (korban bencana/konflik) di masa depan
- Memperhatikan kepentingan lingkungan dalam merekayasa dan implementasi program-program
- Menghindari sikap ketergantungan yang berkepanjangan terhadap bantuan-bantuan eksternal
9.  Bertanggung-jawab kepada pihak yang kita bantu dan yang memberi kita bantuan.
- Bantuan  kemanusiaan harus dapat dipertanggungjawabkan, baik  kepada mereka yang berhak menerimanya dan
kepada pihak Donor
- Bantuan  kemanusiaan  harus  dikelola  secara  terbuka/transparansi,  baik  dari  perspective  Finansial  maupun
Efektifitas kegiatan - Mengakui kewajiban Pelaporan dan memastikan upaya monitoring telah dilakukan sebagaimana mestinya
10.  Dalam kegiatan informasi, publikasi dan promosi, harus memandang korban sebagai manusia yang bermartabat. 
- Mengakui martabat daripada korban bencana/konflik
-  Dalam  publikasi,  tidak  hanya menonjolkan  tingkat  penderitaan  korban  bencana,  tetapi  juga  perlu menonjolkan
upaya/kapasitas masyarakat dalam mengatasi penderitaan mereka
-  Kerjasama dengan Media dalam rangka meningkatkan perhatian dan kontribusi masyarakat – tidak didasarkan pada
adanya tekanan, vested interest atau publisitas baik dari lingkungan internal maupun eksternal
-  Dalam media coverage – diupayakan tidak menimbulkan kesan persaingan dengan Badan Kemanusiaan lainnya
-  Tidak merusak situasi/atmosphere ditempat dimana Badan Kemanusiaan itu bekerja, demikian pula keamanan dari
para Pekerjanya

Safer Access
Pada saat konflik terjadi, kerawanan menjadi korban bagi mereka yang memberi bantuan adalah sebuah hal yang
sulit dihindarkan. Setiap saat pemberi bantuan dapat  turut menjadi korban pertikaian. Misalnya, disandera atau ditawan,
terkena peluru,  senjata  tajam  hingga mortir  secara  tidak disengaja dan  terbunuh. Terkenanya pemberi bantuan menjadi
korban, tentu akan berpengaruh bagi kelancaran sampainya bantuan bagi yang membutuhkan. Untuk itu, pada saat konflik
atau perang terjadi, pemberi bantuan harus memperhatikan betul bagaimana ia bisa selamat dan terhindar dari akibat yang
membuatnya dapat  turut menjadi korban. Bagaimana memperoleh keamanan dan bagaimana  tindakan aman yang harus
dilakukan  oleh  pemberi  bantuan  di  situasi  konflik  inilah  yang  disebut  dengan  safer  access.  Intinya  dapat  disimpulkan
bahwa  safer  access  adalah Kerangka kerja yang disusun  agar pemberi bantuan dapat memiliki  AKSES YANG LEBIH
BAIK  terhadap  populasi  yang  terkena  dampak  konflik  dan  dapat  BEKERJA  LEBIH  AMAN  dalam  situasi  konflik.
Kerangka kerja tersebut terdiri dari pedoman bagi organisasi dan individu agar lebih aman bekerja dalam situasi konflik
Ada tiga hal yang menjadi kerangka kerja tersebut yaitu :
1.  Keamanan pemberi bantuan dalam konflik
Secara umum,  langkah-langkah keamanan disusun untuk: mencegah  insiden, mengurangi  resiko dan membatasi
kerusakan.  Artinya,  kalaupun  insiden  tidak  dapat  dihindarkan  (misalnya  dtangkap  oleh  salah  satu  kelompok  yang
bertikai), paling tidak, kita harus berupaya agar dalam insiden tersebut dapat berlaku tepat agar resiko lebih jauh dapat
terhindar.  Termasuk  tentunya,  membatasi  kerusakan  lebih  jauh  terhadap  kendaran  atau  bangunan  (terutama  yang
digunakan dalam operasi kemanusiaan) yang ada. 
Kunci dari bagaimana dapat berlaku  tepat,  tentu  sebelumnya harus mengerti dan memahami bagaimana  situasi
konflik yang  terjadi. Pemberi bantuan harus mengetahui peta konflik dan peta situasi atau  lokasi yang ada. Misalnya,
mengetahui  siapa  yang  berkonflik,  dimana  lokasi-lokasi  yang  menjadi  basis  pertahanan  dan  daerah  konflik  terbuka
terjadi, dimana lokasi pengungsi, mengetahui jalur atau akses jalur wilayah yang aman dan sebagainya. 
2.  Dasar hukum dan kebijakan gerakan
Andaikan yang memberi bantuan pada saat konflik adalah PMI, maka anggota PMI selain harus mengetahui tipe-
tipe  konflik  maka  harus  mengetahui  juga,  apa  dasar  hukum  yang  dipakai  oleh  PMI  untuk  bertindak  dalam  situasi
konflik. Selain  itu,   pemahaman  akan hak, kewajiban dan keterbatasan PMI di saat konflik dan aturan  lain yang  terkait
dengan  posisi  sebagai  anggota  PMI  dalam  situasi  konflik  juga menjadi  sebuah  hal  yang  harus  diketahui.  Selain  itu,
tentunya  relevansi  penerapan  dasar  hukum  internasional  dan  internasional  bagi  pemberian  bantuan  merupakan
pengetahuan dasar yang melekat. 
Dasar Hukum Internasional meliputi :
A. Konvensi Jenewa (1949)
I.  Melindungi anggota angkatan bersenjata yang luka dan yang sakit dalam pertempuran di darat
II.  Melindungi anggota angkatan bersenjata yang luka, sakit dan mengalami kapal karam dalam pertempuran di laut
III.  Melindungi para tawanan perang
IV.  Melindungi penduduk sipil 
B. Protokol Tambahan (1977)
I.  Protokol I : 
   Memperkuat perlindungan kepada para korban konflik bersenjata internasional
II.  Protokol II: 
   Memperkuat perlindungan kepada para korban konflik bersenjata non-internasional 
III.  Protokol III (2005)
Pengesahan dan pengakuan Lambang Kristal Merah sebagai Lambang keempat dalam  Gerakan
Dasar Hukum Nasional meliputi :
1.  UU No 59 tahun 1958 – keikutsertaan negara RI dalam Konvensi-Konvensi Jenewa tanggal 12 Agustus 1949
2.  Keppres RI no 25 tahun 1950 – pengesahan dan pengakuan Perhimpunan Nasional PMI
3.  Keppres RI no 246 tahun 1963 – tugas pokok dan kegiatan PMI
4.  AD/ART PMI
5.  Garis-Garis Kebijakan Palang Merah Indonesia
6.  Protap Tanggap Darurat Bencana PMI 3.  Tujuh Pilar
Adalah  “Pedoman/  acuan  yang  efektif  untuk  menciptakan  kesadaran  personal  pemberi  bantuan  pada  semua
tingkat  tentang  berbagai  hal  penting  yang  harus  dipertimbangkan  pada  saat  akan  memberikan  perlindungan  maupun
bantuan bagi para korban konflik”. Ketujuh pilar itu meliputi :
a.  Penerimaan terhadap Organisasi
Organisasi bantuan kita harus „diterima‟ oleh lingkungan dimana operasi kemanusiaan dilakukan. 
b.  Penerimaan terhadap Individu dan Tingkah Laku Pribadi
Tingkah  laku  pribadi  dapat  berpengaruh  kepada  penerimaan  terhadap  individu  dan  berpengaruh  pula  pada
penerimaan terhadap organisasi.
c.  Identifikasi
Tanda pengenal bahwa kita menjadi anggota organisasi harus selalu melekat.  
d.  Komunikasi Internal
Informasi internal hendaknya mengalir cepat, tepat dan akurat. Cepatnya informasi dapat mengantisipasi kejadian
yang tidak diinginkan. Untuk itu penting adanya membuat perencanaan.
e.  Komunikasi Eksternal
Komunikasi  atau  informasi  dengan  pihak  luar  Gerakan  secara  terbuka  tanpa  batas  dapat  membahayakan
keamanan  kita,  sebab  dapat  disalahgunakan  untuk  propaganda  atau  dapat menimbulkan  citra  bahwa   Gerakan
adalah  organisasi  yang  memihak.  Untuk  itu,  individu  pemberi  bantuan  tidak  boleh  memberitahukan  atau
menyampaikan apapun selain hanya „apa yang dilakukan‟ dan bukan „apa yang dirasakan, dilihat, didengar‟ dan
sebagainya.
f.  Peraturan Keamanan
Peraturan harus ditandatangani oleh setiap  anggota, Mempunyai suatu  sistim untuk memastikan  terlaksananya
peraturan tersebut dan Peraturan itu haruslah selalu diperbaharui sesuai dengan perkembangan situasi.
g.  Tindakan Perlindungan
Memilih tindakan perlindungan aktif atau pasif atau kombinasi keduanya dan adanya jaminan asuransi.


































 10.  Markas
11.  Upaya Kesehatan Transfusi Darah
12.  Hubungan dan Kerjasama
13.  Perbendaharaan
14.  Pembinaan 
15.  Pembekuan Pengurus
16.  Penghargaan
17.  Perubahan  Anggaran  Dasar  /  Anggaran
Rumah Tangga
ORGANISASI PMI

  Upaya pendirian organisasi Palang Merah  Indonesia sudah dimulai semenjak sebelum Perang Dunia ke  II oleh Dr.
RCL Senduk dan Dr. Bahder Djohan, dimana sebelumnya telah ada organisasi palang merah di Indonesia yang bernama
Nederlands Rode Kruis Afdeling Indie (NERKAI) yang didirikan oleh Belanda. Tetapi upaya – upaya ini masih ditentang
oleh pemerintah kolonial Belanda dan Jepang. 
  Pada tahun 1945, setelah Indonesia merdeka, atas instruksi Presiden Soekarno maka dibentuklah badan Palang Merah
Indonesia oleh Panitia 5 (lima), yaitu :
            Ketua     : Dr. R. Mochtar
            Penulis    : Dr. Bahder Djohan
            Anggota  : Dr. Djoehana
                  Dr. Marzuki
                  Dr. Sitanala
  Sehingga  pada  tanggal  17  September  1945  tersusun  Pengurus Besar  PMI  yang  pertama  yang  dilantik  oleh Wakil
Presiden RI Moch. Hatta yang sekaligus beliau sebagai Ketuanya.

Keppres No. 25 Tahun 1950
    Karena  sejak  dibentuk  pada  tahun  1945  hingga  akhir  tahun  1949  PMI  ikut  terjun  dalam  mempertahankan
kemerdekaan  RI  sebagai  alat  perjuangan,  yang  karena  tidak  sempat  melakukan  penataan  organisasi  sebagaimana
mestinya,  pengesahan  secara  hukum  baru  dilakukan  melalui  Keputusan  Presiden  Republik  Indonesia  Serikat  No.  25
Tahun 1950 yang dikeluarkan tanggal 16 Januari 1950. Yang menetapkan :
Mengesahkan  Anggaran  Dasar  dari  dan  mengakui  sebagai  badan  hukum  Perhimpunan  Palang  Merah
Indonesia,  menunjuk  Perhimpunan  Palang  Merah  Indonesia  sebagai  satu  satunya  organisasi  untuk
menjalankan  pekerjaan  palang  merah  di  Republik  Indonesia  Serikat  menurut  Conventie  Geneve
(1864,1906,1929,1949) 
( isi lengkap Keppres dapat dilihat di lampiran AD/ART PMI )
    Penegasan tersebut bukanlah sekedar untuk memberikan landasan hukum PMI sebagai organisasi sosial tetapi juga
mempunyai  latar  belakang  pertimbangan  dan  tujuan  yang  bersifat  Internasional  sebagai  hasil  dari  Perundingan Meja
Bundar tanggal 27 Desember 1949.

Keppres No. 246 Tahun 1963
    Pada 29 November 1963 pemerintah Republik  Indonesia melalui Keputusan Presiden No. 246 Tahun 1963 yang
melengkapi Keppres No. 25 Tahun 1950. Melalui Keppres ini pemerintah Republik Indonesia mengesahkan : 
Tugas Pokok dan Kegiatan – Kegiatan Palang Merah Indonesia yang berazaskan Perikemanusiaan dan
atas dasar sukarela dengan tidak membeda – bedakan bangsa, golongan dan faham politik 
( isi lengkap Keppres dapat dilihat di lampiran AD/ART PMI )

AD/ART
    Anggaran  Dasar  dan  Anggaran  Rumah  Tangga  adalah  salah  satu  landasan  hukum  dari  Perhimpunan  Nasional
Palang Merah dan Bulan Sabit Merah yang mengatur asas,  tujuan, struktur  internal organisasi, prosedur, hubungan dan
kerjasama dengan berbagai komponen organisasi. 
    Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga merupakan konstitusi organisasi di dalam menjalankan visi dan misi
organisasi.  Sehingga menjadi  suatu  kewajiban  bagi  segenap  komponen  organisasi  untuk memahami, menghayati  dan
mengamalkan ketentuan yang tercantum dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga sesuai dengan fungsi dan
kedudukan masing – masing komponen dalam organisasi.
    Anggaran Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Palang Merah Indonesia bersifat Nasional dan ditetapkan
setiap 5  tahun sekali melalui mekanisme Musyawarah Nasional dengan memenuhi beberapa syarat, seperti yang  tertera
dalam AD/ART PMI. 
    Anggaran Dasar  dan Anggaran  Rumah  Tangga  PMI  disahkan  pertama  kali  oleh  pemerintah  dengan Keputusan
Presiden RIS No. 25 Tahun 1950. Walaupun telah disahkan oleh Pemerintah, namun AD/ART dapat disempurnakan oleh
Musyawarah Nasional PMI. 
    Anggaran  Rumah  Tangga  tidak  boleh  bertentangan  dengan  Anggaran  Dasar  dan  merupakan  penjabaran  serta
ketentuan lebih lanjut mengenai hal – hal yang belum diatur dalam Anggaran Dasar. 
Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga PMI mengatur hal – hal sebagai berikut: 
1.  Nama, waktu, status dan kedudukan
2.  Asas dan tujuan
3.  Prinsip dasar
4.  Lambang dan Lagu
5.  Pelindung
6.  Keanggotaan 7.  Susunan Organisasi
8. Musyawarah dan Rapat
9.  Kepengurusan
Sebagai lampiran juga terdapat :
1.  Lambang ( gambar & penjelasan )
2.  Lagu Hymne PMI dan Mars PMI (syair dan notasi nada )
3.  Salinan Keppres No. 25 Tahun 1950 dan Keppres No. 246 Tahun 1963
4.  Susunan Pengurus Pusat Palang Merah Indonesia Masa Bakti yang berlaku

Sistem dan Struktur Organisasi PMI
Palang Merah  Indonesia  (PMI),  adalah  lembaga  sosial  kemanusiaan  yang  netral  dan mandiri,  yang  didirikan
dengan  tujuan  untuk membantu meringankan  penderitaan  sesama manusia  akibat  bencana,  baik  bencana  alam maupun
bencana akibat ulah manusia, tanpa membedakan latar belakang korban yang ditolong. 
Tujuannya  semata  - mata  hanya  untuk mengurangi  penderitaan  sesama manusia  sesuai  dengan  kebutuhan  dan
mendahulukan keadaan yang lebih parah.
Perhimpunan Nasional yang berfungsi baik mempunyai struktur, sistem dan prosedur yang memungkinkan untuk
memenuhi visi dan misinya. Struktur, sistem dan prosedur Palang Merah Indonesia tertuang dalam Anggaran Dasar dan
Anggaran Rumah Tangga PMI.
Suatu perhimpunan Palang Merah Nasional, yang terikat dengan Prinsip – Prinsip Dasar Gerakan Palang Merah
dan  Bulan  Sabit Merah  Internasional,  maka  PMI  jelas  merupakan  lembaga  yang  independen  serta  berstatus  sebagai
Organisasi Masyarakat, namun dibentuk oleh Pemerintah serta mendapat tugas dari Pemerintah.
Tugas Pemerintah yang diserahkan kepada PMI adalah sebagai berikut :
Pertama :
Tugas – tugas dalam bidang kepalangmerahan yang erat hubungannya dengan Konvensi Jenewa dan ketentuan –
ketentuan Liga Palang Merah dan Bulan Sabit Merah (saat ini dikenal dengan nama Federasi Internasional Palang Merah
dan  Bulan  Sabit Merah  Internasional),  sebagai  Lembaga  yang menghimpun  keanggotaan  Perhimpunan  Palang Merah
Nasional. 
Kedua :
Tugas khusus untuk melakukan  tugas pelayanan  transfusi darah, berupa pengadaan, pengolahan dan penyediaan
darah yang tepat bagi masyarakat yang membutuhkan.
Berdasarkan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga PMI, susunan   Organisasi Palang Merah  Indonesia
adalah sebagai berikut :

  PMI Cabang dapat membentuk PMI Ranting yang berada di tingkat kecamatan.  

Visi dan Misi PMI
  Untuk menjadi Perhimpunan Nasional yang berfungsi baik, Palang Merah  Indonesia mempunyai visi dan misi
yang dinyatakan dengan  jelas, dengan kata  lain, konsep  yang  jelas  tentang apa yang  ingin dilakukannya. Visi dan misi
diharapkan dapat dimengerti dengan baik dan didukung secara  luas oleh seluruh anggota di seluruh  tingkatan. Visi dan
misi harus berpedoman pada Prinsip Dasar Gerakan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Internasional serta beroperasi
sesuai dengan Prinsip Dasar. 
Visi PMI :
Palang Merah Indonesia (PMI) mampu dan siap menyediakan pelayanan kepalangmerahan dengan cepat dan tepat dengan
berpegang teguh pada Prinsip-Prinsip Dasar Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Internasional.
Misi PMI :
1.  Menyebarluaskan  dan mendorong  aplikasi  secara  konsisten  Prinsip-Prinsip  Dasar  Gerakan  Palang Merah  dan
Bulan Sabit Merah Internasional.
2.  Melaksanakan kesiapsiagaan di dalam penanggulangan bencana dan konflik yang berbasis pada masyarakat.
2.  Memberikan bantuan dalam bidang kesehatan yang berbasis masyarakat.
3.  Pengelolaan transfusi darah secara profesional.
4.  Berperan aktif dalam penanggulangan bahaya   HIV/AIDS dan penyalahgunaan NAPZA. 
5.  Menggerakkan generasi muda dan masyarakat dalam tugas-tugas kemanusiaan.
PMI PUSAT
(TINGKAT NASIONAL)

PMI DAERAH
(TINGKAT PROPINSI)

PMI CABANG
(TK. KOTAMADYA / KAB.)

A N G G O T A 6.  Meningkatkan kapasitas organisasi di seluruh jajaran PMI secara berkesinambungan disertai dengan perlindungan
terhadap relawan dan karyawan dalam melaksanakan tugas-tugas kemanusiaan.
7.  Pengembangan  dan  penguatan  kapasitas  organisasi  di  seluruh  jajaran PMI  guna meningkatkan  kualitas  potensi
sumber  daya  manusia,  sumber  daya  dan  dana  agar  visi,  misi  dan  program  PMI  dapat  diwujudkan  secara
berkesinambungan.






















































 
PALANG MERAH REMAJA


Pengertian 
Palang Merah Remaja  (PMR)  adalah wadah  kegiatan  atau wadah pengabdian di bidang kemanusiaan yang dibentuk
oleh PMI yang anggotanya terdiri dari para remaja, biasanya merupakan kegiatan ekstrakulikuler di sekolah-sekolah.

Anggota PMR
Anggota  PMR  adalah  anggota  remaja  berusia  10  –  17  tahun  dan  atau  belum menikah,  yang mendaftarkan  diri  dan
terdaftar dalam kelompok PMR
Tingkatan PMR:
1.  PMR Mula  :  10 – 12 tahun/setingkat SD/MI/sederajat
2.  PMR Madya  :  12 – 15 tahun/setingkat SMP/MTS/sederajat
3.  PMR Wira  :  15 – 17 tahun/setingkat SMA/SMK/MA/sederajat
4.  
BERAKHIRNYA KEANGGOTAAN

a.  Keanggotaan PMR dinyatakan berakhir jika yang bersangkutan:
 
1.  Berakhir masa keanggotaan
2.  Mohon berhenti
3.  Diberhentikan
4.  Meninggal dunia

b.  Anggota PMR dapat diberhentikan oleh Pengurus PMI Cabang, apabila yang bersangkutan mencemarkan nama baik
PMI dan atau dijatuhi hukuman pidana yang telah berkekuatan hukum tetap.

c.  Mekanisme  penghentian  anggota PMR  ditetapkan  oleh  kelompok PMR  yang  bersangkutan,  yang  dikoordinasikan
dengan PMI Cabang

Syarat Menjadi Anggota PMR

1.  Warga Negara Indonesia atau Warga Negara Asing yang sedang berdomisili di wilayah Indonesia
2.  Berusia 10  tahun sampai dengan 17  tahun dan atau belum menikah atau seusia siswa SD/MI s/d SMU/MA atau
yang sederajat
3.  Mendapatkan persetujuan orang tua/wali
4.  Bersedia mengikuti orientasi, pelatihan, dan pelaksanaan kegiatan kepalangmerahan
5.  Mengisi  formulir pendaftaran dan mengembalikannya kepada Pembina PMR dikelompok PMR masing-masing,
untuk selanjutnya disampaikan kepada Pengurus Cabang Palang Merah Indonesia setempat. 

Hak dan Kewajiban

a.  Hak Anggota PMR
1)  Mendapatkan pembinaan dan pengembangan oleh PMI
2)  Menyampaikan pendapat dalam forum/pertemuan resmi PMI
3)  Berpartisipasi aktif dalam kegiatan PMR
4)  Mendapatkan Kartu Tanda Anggota (KTA)
b.  Kewajiban Anggota PMR
1.  Menjalankan dan membantu menyebarluaskan prinsip-prinsip dasar gerakan Palang Merah dan kegiatan
PMI
2.  Mematuhi AD/ART
3.  Melaksanakan Tri Bhakti PMR
4.  Menjaga nama baik PMI
5.  Membayar uang iuran keaggotaan
Tri Bakti PMR
1.  Tri Bhakti PMR terdiri dari: 

a.  Berbakti pada masyarakat
b.  Mempertinggi ketrampilan serta memelihara kebersihan dan kesehatan
c.  Mempererat persahabatan nasional dan internasional

2.  Jenis kegiatan dalam Tri Bakti PMR a.l.:

a.  PMR Mula

Berbakti pada masyarakat
Mempertinggi ketrampilan dan
memeliharan kebersihan dan
kesehatan
Mempererat persahabatan
nasional dan internasional
1)  Dapat menyanyikan lagu Mars PMI
dan Bakti Remaja
2)  Dapat membuat bagan struktur
organisasi PMR
1)  Tahu cara gosok gigi, mencuci
tangan dan kaki
2)  Dapat melakukan Pertolongan
Pertama untuk diri sendiri
1)  Menjalin persahabatan
dengan anggota PMR dari
sekolah lain: 3)  Tahu alamat PMI Cabang
4)  Tahu susunan pengurus PMI
Cabang
5)  Tahu kegiatan dan tanda pengenal
PMR
6)  Tahu tempat puskesmas, rumah
sakit, bidan, dan dokter
dilingkungannya
7)  Tahu cara menghubungi tenaga
kesehatan dilingkungannya
8)  Menengok teman yang sakit
9)  Membantu orang tua menyelesaikan
pekerjaan rumah
10)  Tahu alamat rumah sendiri
11)  Tahu cara menjaga kebersihan
lingkungan
12)  Pernah ikut gotong royong
membersihkan tempat ibadah,
sekolah, rumah sakit, puskesmas

3)  Tahu makanan 4 sehat 5
sempurna
4)  Dapat melakukan perawatan
keluarga pada anggota
keluarga
5)  Tahu cara menyimpan obat-
obatan ringan
6)  Dapat melakukan 3 M
(Menutup, Menguras,
Mengubur)
7)  Dapat melakukan
kesiapsiagaan bencana untuk
dirinya sendiri
8)  Melaksanakan kegiatan
pelayanan kesehatan di
sekolah
  Saling berkunjung untuk
latihan bersama 
  Saling berkirim surat atau
album persahabatan
  Berkirim hasil kerajinan
daerah, informasi
pariwisata

b.  PMR Madya

Berbakti pada masyarakat
Mempertinggi ketrampilan dan
memeliharan kebersihan dan
kesehatan
Mempererat persahabatan
nasional dan internasional
1)  Dapat menyanyikan lagu Mars PMI
dan Bakti Remaja
2)  Dapat membuat bagan struktur
organisasi PMR
3)  Tahu alamat PMI Cabang dan PMI
Daerahnya
4)  Tahu susunan pengurus PMI
Cabang
5)  Tahu kegiatan dan tanda pengenal
PMR
6)  Tahu tempat  puskesmas, rumah
sakit, bidan, dan dokter
dilingkungannya
7)  Tahu cara menghubungi tenaga
kesehatan dilingkungannya
8)  Menengok teman yang sakit
9)  Membantu orang tua menyelesaikan
pekerjaan rumah
10)  Tahu alamat rumah sendiri
11)  Tahu cara menjaga kebersihan
lingkungan
12)  Pernah ikut gotong royong , 
membersihkan tempat ibadah,
sekolah, rumah sakit, puskesmas
dan lingkungan tempat tinggalnya 
13)  Melaksanakan kunjungan sosial, a.l.
ke rumah sakit, panti jompo, panti
asuhan
14)  Pernah menyumbang tenaga/materi
kepada korban bencana
15)  Melaksanakan kegiatan bakti
masyarakat, misal sosialisasi
pencegahan penyakit/bencana
dilingkungan sekolah dan keluarga
16)  Melaksanakan lomba lingkungan
sekolah sehat

1)  Dapat menjaga kebersihan dan
kesehatan diri dan keluarga,
serta kerindangan lingkungan
2)  Mengenal oabt-obatan ringan
dan manfaatnya
3)  Dapat melakukan pertolongan
pertama kepada teman
sebayanya
4)  Dapat melakukan perawatan
keluarga di rumah
5)  Mengikuti kegiatan kesehatan
remaja
6)  Dapat melakukan
kesiapsiagaan bencana untuk
diri sendiri dan keluarga
7)  Melaksanakan kegiatan
pelayanan kesehatan di
sekolah
1)  Menjalin persahabatan
dengan anggota PMR dari
PMI Cabang, atau
organisasi remaja lain:
  Saling berkunjung untuk
latihan bersama 
  Saling berkirim surat atau
album persahabatan
  Berkirim hasil kerajinan
daerah, informasi
pariwisata





 c.  PMR Wira

Berbakti pada masyarakat
Mempertinggi ketrampilan dan
memeliharan kebersihan dan
kesehatan
Mempererat persahabatan
nasional dan internasional
1)  Dapat menyanyikan lagu Mars PMI
dan Bakti Remaja
2)  Dapat membuat bagan struktur
organisasi PMR
3)  Tahu alamat PMI Cabang, PMI
Daerah serta Markas Pusat PMI
4)  Tahu susunan pengurus PMI
Cabang dan PMI Daerah serta PMI
Pusat
5)  Tahu kegiatan dan tanda pengenal
PMR
6)  Tahu tempat puskesmas, rumah
sakit, bidan, dan dokter
dilingkungannya
7)  Tahu cara menghubungi tenaga
kesehatan dilingkungannya
8)  Menengok teman yang sakit
9)  Membantu orang tua menyelesaikan
pekerjaan rumah
10)  Tahu alamat rumah sendiri
11)  Tahu cara menjaga kebersihan
lingkungan
12)  Pernah ikut gotong royong , 
membersihkan tempat ibadah,
sekolah, rumah sakit, puskesmas
dan lingkungan tempat tinggalnya 
13)  Pernah menyumbang tenaga/materi
kepada korban bencana
14)  Melaksanakan kegiatan bakti
masyarakat, misal sosialisasi
pencegahan penyakit/bencana
dilingkungan sekolah dan keluarga
15)  Melaksanakan lomba lingkungan
sekolah sehat
16)  Melaksanakan kunjungan sosial
17)  Membantu tugas-tugas UTDC
dalam kegiatan sosialisasi dan
motivasi donor darah siswa
18)  Menjadi donor darah siswa
19)  Membantu kegiatan posyandu
diwilayahnya
20)  Melaksanakan kegiatan bakti
masyarakat, misal sosialisasi
pencegahan penyakit/bencana
dilingkungan sekolah, keluarga, dan
masyarakat    
1)  Menjadi Pelatih Remaja
Sebaya
2)  Dapat menjaga kebersihan,
kesehatan diri dan keluarga,
serta kerindangan lingkungan 
3)  Mengenal oabt-obatan ringan
dan manfaatnya
4)  Dapat melakukan pertolongan
pertama kepada keluarga, dan
teman sebayanya
5)  Dapat melakukan perawatan
keluarga di rumah
6)  Mengikuti kegiatan kesehatan
remaja
7)  Dapat melakukan kegiatan
kesiapsiagaan bencana untuk
diri sendiri, keluarga, dan
masyarakat
8)  Melaksanakan kegiatan
pelayanan kesehatan di
sekolah
1)  Menjalin persahabatan
dengan anggota PMR dari
PMI Daerah, PM/BSM,
atau organisasi remaja
lain:
  Saling berkunjung untuk
latihan bersama 
  Saling berkirim surat atau
album persahabatan
  Berkirim hasil kerajinan
daerah, informasi
pariwisata

3.  Pelaksana Tri Bhakti PMR:

Anggota PMR, yang difasilitasi oleh Pembina PMR, Pelatih PMI, dan PMI disemua tingkatan (Cabang, Daerah,
Pusat)

4.  Pelaksanaan Tri Bhakti PMR:

a.  Kegiatan  Tri  Bhakti  PMR  dilakukan  sesuai  program  kelompok  PMR,  yang  terintegrasi  dengan  bidang
Pelayanan Sosial dan Kesehatan, serta Manajemen Bencana
b.  Kegiatan Tri Bhakti PMR dapat diselenggarakan oleh kelompok PMR, PMI Cabang, PMI Daerah, maupun
PMI Pusat. 
c.  Pelaksanaan Tri Bhakti PMR ditingkat Pusat, harus melibatkan PMI Daerah dan Cabang
d.  Anggota PMR yang telah mengikuti Tri Bhakti PMR, diberikan lencana
Kelompok PMR yang telah melaksanakan program Tri Bhakti PMR, diberikan tanda penghargaan



 STRUKTUR ORGANISASI PMR 

Di Luar Sekolah























Di Sekolah




































PENANGGUNG JAWAB
PEMBINA PMR 
KETUA PMR 
WKL. KETUA PMR 
BENDAHARA   SEKRETARIS 
Unit Bakti Masyarakat   Unit Persahabatan  Unit Kesehatan   Unit Umum 
KEPALA
SEKOLAH/MADRASAH
KETUA LEMBAGA/INSTANSI
PEMBINA PMR 
KETUA PMR 
WKL. KETUA PMR 
BENDAHARA   SEKRETARIS 
Unit Bakti Masyarakat   Unit Persahabatan  Unit Kesehatan   Unit Umum 
PENANGGUNG JAWAB 
KORPS SUKA RELA


Pengertian 
    Korps Suka Rela (KSR PMI) adalah kesatuan di dalam perhimpunan PMI, yang merupakan wadah kegiatan atau
wadah pengabdian bagi Anggota perhimpunan PMI.
  Unit KSR PMI dapat terbentuk di :
a.  Lingkungan Markas Cabang
b.  Lingkungan Perguruan Tinggi/Lembaga Pendidikan
c.  Lingkungan Satuan Kerja ( Kantor, Pabrik, dll )
d.  Lingkungan Masyarakat Umum
KSR  PMI  bertanggung  jawab  dan memberikan  laporan  kegiatan  secara  periodik  kepada  Pengurus  PMI  Cabang
setempat melalui staf yang bertanggung jawab di bidang pengembangan relawan. Staf yang bertanggung jawab di bidang
pengembangan relawan PMI Cabang setempat secara fungsional membantu Pengurus PMI Cabang dalam membina Unit
KSR PMI yang ada di wilayah kerjanya untuk tugas dan kewajiban sebagai berikut :
1. Membuat peraturan tata tertib keanggotaan berdasarkan ketentuan – ketentuan yang telah digariskan oleh Pengurus
Pusat PMI maupun ketentuan yang merupakan kebijaksanaan Pengurus Cabang setempat. 
2. Merencanakan kegiatan pembinaan dan pengembangan bagi Unit, Kelompok, Regu dan anggota KSR.
3. Memimpin seluruh kegiatan pengembangan KSR
4. Merekomendasikan anggota KSR untuk mengikuti pendidikan yang lebih tinggi.  
5. Bertanggung jawab dan memberikan laporan kegiatan secara teratur kepada Pengurus PMI Cabang

Struktur organisasi KSR dalam organisasi PMI adalah sebagai berikut :
1.  Struktur Organisasi KSR di tingkat Cabang
















2.  Struktur Organisasi KSR di Unit














Catatan : Manajemen kepengurusan Unit diserahkan kepada masing-masing Unit sesuai dengan kebutuhan, dengan
ketentuan tidak melanggar struktur yang telah ada.


      Garis Komando
      Garis Koordinasi
PENGURUS PMI
PUSAT
PENGURUS PMI
DAERAH
PENGURUS PMI
CABANG
PIMPINAN INSTANSI
PUSAT

PIMPINAN INSTANSI
PROPINSI

PIMPINAN INSTANSI
KABUPATEN/KOTA

UNIT 
Markas Cabang
STRUKTUR ORGANISASI KSR 
DI TINGKAT CABANG

UNIT 
Perguruan Tinggi

UNIT 
Masyarakat umum

UNIT 
Instansi

BENDAHARA

Seksi

Seksi


Seksi


Seksi

WK.KOMANDAN KSR

KOMANDAN KSR 

SEKERTARIS 

A  N  G  G  O  T  A        K S R


Pembina Teknis KSR 

Pembina KSR  Sebagai anggota KSR memiliki hak dan Kewajiban, yaitu :
Hak 
1.  Memperoleh/ mendapat  kesempatan  untuk  mengikuti  pendidikan  dan  pelatihan  guna mengembangkan  sikap  dan
keterampilan
2.  Mendapatkan  kesempatan mengembangkan  pengabdian  di  dalam  perhimpunan  PMI,  baik  di  dalam  kepengurusan
maupun di dalam kegiatan operasional.
3.  Berhak menggunakan atribut sesuai dengan ketentuan
4.  Memberikan usul, saran dan pendapat sesuai jenjang organisasi demi kemajuan perhimpunan PMI.  
5.  Dilibatkan dalam pengambilan keputusan PMI
6.  Memperoleh Asuransi dan perlindungan hukum dalam pelaksanan tugas Kepalangmerahan
7.  Memperoleh  tanda penghargaan,  tanda kehormatan dari PMI, dari pemerintah maupun dari  lembaga Nasional dan
Internasional sesuai dengan ketentuan.
8.  Menggunakan fasilitas KSR PMI sesuai dengan ketentuan yang berlaku
9.  Mendapat KTA PMI
10.  Mengikuti kegiatan kepalangmerahan di dalam maupun di luar kesatuan atau unit yang bersangkutan. 

Kewajiban
1.  Setiap anggota KSR PMI wajib menjaga dan meningkatkan kualitas kesatuannya. 
2.  Setiap anggota KSR wajib meningkatkan kesiapsiagaan dengan mengikuti :
a.  Kegiatan Pembinaan
b.  Kegiatan Pendidikan dan Pelatihan
c.  Kegiatan Gladi
d.  Kegiatan Operasional
3.  Tunduk,  taat dan patuh pada peraturan – peraturan kesatuan KSR PMI serta peraturan  – peraturan yang berlaku di
jajaran PMI.  

Sebagai anggota biasa, KSR memiliki hak dan kewajiban yang diatur dalam AD/ART yaitu :
Hak
1.  Pendapat pembinaan dan pengembangan dari pengurus PMI
2.  Menyampaikan pendapat dalam forum – forum / pertemuan resmi PMI
3.  Memiliki hak suara dalam setiap musyawarah di tingkat cabang dan setiap rapat di tingkat ranting
4.  Memilih dan dipilih sebagai pengurus PMI

Kewajiban
1.  Menjalankan dan menyebarluaskan prinsip – prinsip dasar gerakan 
2.  Mematuhi AD/ART PMI
3.  Mempromosikan kegiatan PMI    5. Menjaga nama baik PMI
4.  Berpartisipasi aktif dalam kegiatan PMI  6. Membayar uang iuran keanggotaan









 

1 komentar:

Moh. Nashirurddin mengatakan...

Izin ngeshare n buat materi adek kelas ya.
.
Lanjutkan !!